Selasa

KERAJAAN SRIWIJAYA

Sejarah Kerajaan Sriwijaya (Sriwijaya) bisa ditelusuri lewat beberapa
hal, antara lain melalui prasasti maupun berita Cina (Tiongkok), Arab,
dan Persia. Nama Sriwijaya sendiri dijumpai pertama kali dalam Prasasti
Kota Kapur dari Pulau Bangka. Pada 1913, H. Kern mengidentifikasikan kata Sriwijaya sebagai
nama seorang raja (Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1993:53).

George Coedes melengkapi hasil penelitian dari H Kern. Pada 1918 Coedes
menggunakan sumber-sumber berupa prasasti dan berita Tiongkok untuk
mengungkap sejarah Sriwijaya. Hasilnya, Coedes menyimpulkan bahwa nama
Sriwijaya yang disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur adalah nama sebuah
kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusatnya di Palembang. Dalam berita
Tiongkok, kerajaan ini disebut dengan She-li-fo-she. Pendapat ini
sebenarnya pernah pula dikemukakan oleh Samuel Beal pada 1884. Beal
mengemukakan bahwa She-li-fo-she adalah sebuah kerajaan yang terletak di
pantai timur Sumatera Selatan, di tepi Sungai Musi, dekat Palembang
(Marwati & Nugroho, 1993:53).

Muncul pula pendapat lain yang menyatakan bahwa letak Sriwijaya tidak
berada di Palembang. Seperti dikutip dalam buku /Sejarah Nasional
Indonesia II/ (1993), pendapat ini antara lain berasal dari F.D.K. Bosch
pada 1904 yang menyatakan hanya terdapat sedikit bukti arkeologis untuk
menguatkan bahwa Palembang sebagai pusat kekuasaan Sriwijaya. Pendapat
lainnya datang dari R.C. Majumdar yang menyatakan bahwa letak Sriwijaya
harus dicari di Pulau Jawa. Sementara H.G. Quaritch Wales menempatkan
Sriwijaya di Chaiya (Marwati & Nugroho, 1993:53). Drs. Sukmono serta
Prof. Slamet Muljana meyakini bahwa letak Sriwijaya berada di daerah
yang sekarang dikenal dengan nama Jambi.

Terlepas dari munculnya beberapa perbedaan pendapat tersebut, tidak bisa
dipungkiri bahwa pendapat umum yang diyakini sampai sekarang tetap
menempatkan Palembang sebagai pusat kekuasaan Sriwijaya. Di luar
perbedaan tersebut tampaknya ada satu kesamaan dari para ahli yang
menyatakan bahwa Sriwijaya mulai berdiri sekitar abad ke-7. Pengambilan
abad ke-7 sebagai masa awal berdirinya Sriwijaya didasarkan pada
penemuan prasasti tertua peninggalan Sriwijaya, yaitu Prasasti Kedukan
Bukit. Prasasti berangka tahun 604 Masehi ini ditemukan di tepi Sungai
Tatang, dekat Palembang (Marwati & Nugroho, 1993:53).

Sedikitnya ada 7 prasasti yang ditemukan sebagai bukti peninggalan dari
Sriwijaya. Ketujuh prasasti tersebut adalah Prasasti Kedukan Bukit (682
M), ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat
Palembang; Prasasti Talang Tu ditemukan oleh Residen Wetenenk di daerah Talang Tuo, sebelah barat Kota Palembang sekarang pada 1920; Telaga Batu  yang ditemukan di Telaga Batu, dekat
Palembang; Prasasti Kota Kapur (28 April 686), ditemukan di dekat Sungai
Menduk di Pulau Bangka bagian barat; Prasasti Karang Brahi, ditemukan di oleh L.M.
Berkhout pada 1904 di daerah Karang Brahi, di tepi Sungai Merangin,
cabang Sungai Batanghari di Jambi Hulu; Prasasti Palas Pasemah,
ditemukan pada 1958 di tepi Sungai Pisang, anak Sungai Sekapung, Lampung
Selatan (Marwati & Nugroho, 1993:53-59). Sedangkan satu prasasti lainnya
dinamakan dengan Prasasti Ligor (774 M) yang ditemukan di pantai timur
Muangthai (Thailand) Selatan (Slamet, 1981:82).

Selain prasasti, sumber tertulis tentang Sriwijaja juga didapatkan
melalui berita Arab maupun Persia. Menurut Marwati & Nugroho (1993),
berita Arab yang pertama berasal dari Ibn Hordadzbeh dari tahun 844-848
M yang mengatakan bahwa Raja Zabag (Sriwijaya) disebut maharaja yang
kekuasaannya meliputi pulau-pulau di lautan timur. Hasil negerinya
berupa kapur barus dan gajah banyak terdapat di sana. Ibn Roteh (903 M)
mengatakan bahwa Maharaja Zabag merupakan raja terkaya dibandingkan
dengan raja-raja di India. Ibn Zayd (916 M) menyatakan bahwa Raja Zabag
setiap hari melemparkan segumpal emas ke dalam danau di dekat istana.
Danau ini berhubungan dengan laut sehingga airnya payau. Raja Zabag
menguasai banyak pulau antar lain Sribuza, Kalah, dan Rami. Hasil bumi
dari Zabag meliputi kayu gaharu, kapur barus, kayu cendana, gading,
timah, kayu hitam, kayu sapan, dan rempah-rempah. Mas`udi, seorang  ahli
geografi pada 955 M menyatakan bahwa Zabag memiliki rakyat yang banyak,
tentaranya tak terhitung jumlahnya, meskipun dengan perahu tercepat
orang tidak akan dapat mengelilingi pulau taklukan Zabag dalam tempo 2
tahun. Maharaja Zabag memiliki banyak minyak wangi dan bahan?bahan yang
berbau harum lebih banyak daripada raja lainnya. Pelayaran dari Siraf
dan Oman dikuasai raja ini, di Kalah dan Sribuza ada tambang emas dan
timah (Marwati dan Nugroho, 1993 :67-68).

Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa mulai abad ke-7, Sriwijaya
telah melakukan penaklukan untuk berperan sebagai negara maritim.
Penguasaan jalur perdagangan dan melimpahnya komoditas perdagangan di
daerah yang dikuasai Sriwijaya, membuat kerajaan ini menjadi sebuah
emporium (pusat perdagangan) selama berabad-abad. Pedagang dari berbagai
negara singgah di pelabuhan Sriwijaya untuk melakukan transaksi dagang.
Sriwijaya juga memungut bea cukai bagi setiap kapal yang singgah di
pelabuhannya. Hal inilah yang menjadi tambang uang bagi Sriwijaya, di
samping transaksi barang dagangan.

Sebagai negara induk, setiap tahun Sriwijaya menerima upeti dari
negara-negara bawahan berupa hasil bumi, perak, dan emas atau barang
lainnya dengan jumlah yang telah ditentukan(Slamet, 1981:81). Dikatakan
oleh I-Tsing, seorang pendeta Buddha yang 2 kali menetap di Sriwijaya,
bahwa pada akhir abad ke-7 negara Sriwijaya sangat makmur. Dikatakan
bahwa rakyat memberikan sesaji bunga teratai emas kepada arca Buddha;
dalam upacara agama tampak perabotan dan arca-arca serba emas. Rakyat
dari segala lapisan berlomba memberikan sedekah kepada para pendeta
(Slamet, 1981:81).  

Selain berfungsi sebagai emporium, Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat
agama Buddha di tanah Melayu. Raja-raja Sriwijaya dikenal sebagai
pelindung agama Buddha dan penganut yang taat, seperti dapat dilihat
dalam Prasasti Nalanda dan berita Tiongkok (Marwati & Nugroho, 1993 :75-76).

Menurut Marwati & Nugroho (1993) , sampai abad ke-11, Kerajaan Sriwijaya
masih merupakan pusat pengajaran agama Buddha yang bertaraf
internasional. Pada masa pemerintahan Raja Sri Cudamaniwarmadewa (abad
ke-11), seorang pendeta Buddha bernama Dharmakrti menyusun kritik
tentang sebuah kitab ajaran agama Buddha//bernama /Abhisamayalandara/.
Kemudian pada 1011-1023 M, seorang biksu dari Tibet bernama Atisa,
datang ke Sriwijaya untuk belajar agama kepada Dharmakrti. Sedangkan
dari berita Tiongkok, diperoleh keterangan bahwa pada 1003 M, Raja Sri
Cudamaniwarmadewa mengirimkan dua utusan ke Tiongkok untuk membawa
upeti. Mereka mengatakan bahwa di negaranya didirikan sebuah bangunan
suci agama Buddha untuk memuja agar kaisar panjang umur. Mereka memohon
agar kaisar memberikan nama dan genta. Bangunan suci itu kemudian diberi
nama Cheng-thien-wa-shou (Marwati & Nugroho, 1993:68-69).

Kejayaan Sriwijaya akhirnya mulai surut karena terjadi beberapa kali
penyerangan (perang) yang dilakukan oleh Kerajaan Cola dan pasukan dari
Jawa. Kerajaan Cola melakukan 3 kali penyerangan terhadap Sriwijaya,
yaitu pada 1017 M yang dipimpin oleh Rajendracoladewa, 1025 M, dan 1068
M yang dipimpin oleh Wirajayendra (Marwati & Nugroho, 1993:69-70).
Penyerangan yag dilakukan oleh Kerajaan Cola pada abad ke-11 ternyata
menggoyahkan Sriwijaya sebagai kerajaan terbesar di tanah Melayu saat
itu. Hal ini terbukti pada serangan kedua (1025 M), raja Sriwijaya yang
memerintah saat itu, yaitu Sri Sangramawijayottunggawarman dapat ditawan
oleh tentara dari Kerajaan Cola (Marwati & Nugroho, 1993:69).

Penyebab penyerangan Kerajaan Cola terhadap Sriwijaya, sampai saat ini
belum diketahui secara jelas. Padahal sebelumnya telah terjadi hubungan
yang erat antara Sriwijaya dengan Kerajaan Cola, sebagaimana hubungan
segitiga antara Sriwijaya-Tiongkok-India. Menurut Marwati &
Nugroho//(1993), tersurat sebuah prasasti raja Dewapaladewa dari
Benggala yang dibuat pada akhir abad ke-9 yang menyebutkan sebuah biara
yang dibuat atas perintah Balaputradewa, maharaja dari Suwarnadwipa.
Prasasti ini dikenal sebagai Prasasti Nalanda. Sebuah prasasti Raja Cola
lainnya, yaitu prasasti dari Rajaraja I di India Selatan menyebutkan
bahwa Marawijayotunggawarman, raja dari Kataha dan Sriwisaya telah
memberikan hadiah sebuah desa untuk diabdikan kepada sang Buddha yang
dihormati di dalam Cudamanivarmavihara, yang telah didirikan oleh
ayahnya di kota Nagipattana (Negapatam sekarang) (Marwati & Nugroho,
1993:74-75).

Menurut Paul Michel Munoz (2006), antara tahun 1079?1088 M, orang
Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar dari Jambi dan
Palembang. Tahun 1082 M dan 1088 M, Jambi mengirimkan lebih dari dua
duta besar ke Tiongkok. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah
bergeser secara bertahap dari Palembang ke Jambi. Ekspedisi Cola telah
melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya sebagai pusat
kerajaan (Munoz, 2006:165-167).

Meskipun sempat bangkit kembali menjadi kerajaan yang kuat pada abad
ke-13, akan tetapi menurut sejarah Dinasti Ming, dikatakan bahwa
Sriwijaya pada 1376 M telah ditaklukkan oleh Jawa (Marwati & Nugroho,
1993:71). Penaklukkan dari Jawa diwakili oleh Kerajaan Kediri melalui
Ekspedisi Pamalayu pada 1275 (M.D. Mansoer, et.al., 1970:51). Ekspedisi
Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi untuk menaklukkan Melayu dengan
pusat Kerajaan Darmasraya di Jambi, Swarnnabhumi (Sumatera). 

Setelah Sriwijaya yang telah bergeser dari Palembang ke Jambi dapat
ditaklukkan, kerajaan dari Jawa tersebut justru mengalami masa
keruntuhan dan tidak dapat mengawasi daerah taklukannya. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh sejumlah gerombolan bajak laut untuk menguasai
perairan di daerah taklukan Sriwijaya di bawah pimpinan Liang-tau-ming,
sedangkan daerah Palembang dikuasai oleh bajak laut Ch`en-Tsu-yi
(Marwati & Nugroho, 1993:71). Dengan dikuasainya perairan oleh bajak
laut, maka mulai saat itulah Kerajaan Sriwijaya dikatakan telah runtuh. 

Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya ternyata berdampak sangat luas karena
selama berabad-abad fungsi emporium telah diperankan oleh Sriwijaya.
Fungsi ini mulai hilang seiring dengan merosotnya pengaruh kekuasaan
Sriwijaya pada awal abad ke-13. Hilangnya Sriwijaya sebagai emporium di
nusantara berakibat pada mulai terpencarnya pusat-pusat perdagangan di
nusantara, antara lain berpusat di Pidie dan Samudera Pasai (Sartono
Kartodirdjo, 1999:4).

Silsilah Kerajaan Sriwijaya

Silsilah raja-raja di Kerajaan Sriwijaya sampai saat ini belum ditemukan
secara utuh. Beberapa data yang dihimpun merupakan fragmen yang
dirangkai menurut alur waktu dari abad ke-7 sampai menjelang runtuhnya
Kerajaan Sriwijaya. Beberapa sumber yang dipakai dalam penulisan ini
diambil dari Paul Michel Munoz (2006:175); Marwati Djoenoed Poesponegoro
& Nugroho Notosusanto (1993); dan Slamet Muljana//(1981). Silsilah
raja-raja di Sriwijaya sebagai berikut:

 1. Dapunta Hyang Sri Jayanaga (683 M). Selama masa pemerintahannya,
    Raja Dapunta Hyang Sri Jayanaga telah menuliskan Prasasti Keduka Bukit , Talang
    Tuo (684 M), dan Kota Kapur. Selain itu, Dapunta Hyang Sri Jayanaga
    juga menaklukkan Kerajaan Melayu dan Tarumanegara.
 2. Indravarman (702 M). Selama masa kepemimpinan Indravarman, dikirim
    utusan ke Tiongkok pada 702-716 M,dan 724 M.
 3. Rudra Vikraman atau Lieou-t`eng-wei-kong (728 M). Selama masa
    kepemimpinan Rudra Vikraman, dikirim utusan ke Tiongkok pada 728-748 M.
 4. Dharmasetu (790 M).
 5. Wisnu (795 M) dengan gelar Sarwarimadawimathana yang artinya
     ?pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa ? (775 M). Selama
    kepemimpinannya, Raja Wisnu memulai pembangunan Candi Borobudur pada
    770 M dan menaklukkan Kamboja Selatan.
 6. Samaratungga (792 M). Selama kepemimpinan Raja Samaratungga,
    Sriwijaya kehilangan daerah taklukannya di Kamboja Selatan pada 802 M.
 7. Balaputra Sri Kaluhunan (Balaputradewa) (835 M). Raja ini
    memerintahkan pembuatan biara untuk Kerajaan Cola di India dengan
    meninggalkan Prasasti Nalanda.
 8. Sri Udayadityawarman (960 M). Selama kepemimpinannya,  Raja Sri
    Udayadityawarman mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 960 M.//
 9. Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M). Selama kepemimpinannya, Raja
    Sri Udayadityan mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 961-962 M.//
10. Hsiae-she (980 M). Selama kepemimpinannya, Raja Hsiae-she
    mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 980-983 M.//
11. Sri Cudamaniwarmadewa (988 M). Saat beliau memerintah, terjadi
    penyerangan dari Jawa.//
12. Sri Marawijayottunggawarman (1008 M). Selama kepemimpinannya, Raja
    Sri Marawijayottunggawarman mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1008
    M.//
13. Sumatrabhumi (1017 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sumatrabhumi
    mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1017 M.//
14. Sri Sanggramawijayottunggawarman (1025). Selama kepemimpinan Raja
    Sri Sanggramawijayottunggawarman, Sriwijaya dapat dikalahkan oleh
    Kerajaan Cola dan sang raja sempat ditawan. //
15. Sri Deva (1028 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Deva mengirimkan
    utusan ke Tiongkok pada 1028 M.//
16. Dharmavira (1064 M).
17. Sri Maharaja (1156 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Maharaja
    mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1156 M.
18. Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva (1178 M). Selama
    kepemimpinannya, Raja Trailokaraja Maulibhusana Varmadevamengirimkan
    utusan ke Tiongkok pada 1178 M.
19. Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan
    Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaysia. //

Sistem Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya

wilayah Sriwijaya ternyata membutuhkan
pengawasan yang ekstra karena luasnya kekuasaan kerajaan ini. Untuk
menjaga eksistensi kekuasaan, Raja Sriwijaya menerapkan beberapa
kebijakan, misalnya saja dalam beberapa prasasti dituliskan tentang
kutukan bagi siapa saja yang tidak taat pada raja, seperti dalam
Prasasti Telaga Batu Kota Kapur. Fungsi ancaman (kutukan) ini semata-mata untuk menjaga
eksistensi kekuasaan seorang raja terhadap daerah taklukannya (Marwati &
Nugroho, 1993:71). Selain kutukan, terdapat pula prasasti yang
menjanjikan hadiah berupa kebahagiaan terhadap siapa saja yang tunduk
terhadap Sriwijaya, seperti yang tertulis pada Prasasti Kota Kapur.

Selain berisi kutukan, Prasasti Telaga Batu juga memuat tentang
penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya, seperti misalnya /yuvaraja /(putra
mahkota), /pratiyuvaraja /(putra raja kedua), /rajakumara /(putra raja
ketiga), /rajaputra /(putra raja keempat), /bhupati /(bupati), /senapati
/(pemimpin pasukan), /nayaka, pratyaya, haji pratyaya /(orang
kepercayaan raja?), /dandanayaka /(hakim), /tuha an vatak vuruh
/(pengawas kelompok pekerja), /addhyaksi nijavarna, vasikarana /(pembuat
pisau), /kayastha/ (juru tulis), /sthapaka /(pemahat), /puhavam
/(nakhoda kapal), /vaniyaga, pratisara, marsi haji, hulunhaji
/(saudagar, pemimpin, tukang cuci, budak raja), /datu, /dan /kadatuan/
(Marwati & Nugroho, 1993:57).

Secara struktural, Raja Sriwijaya memerintah secara langsung terhadap
seluruh wilayah kekuasaan (taklukan). Di beberapa daerah taklukan
ditempatkan pula wakil raja sebagai penguasa daerah. Wakil raja ini
biasanya masih keturunan dari raja yang memimpin. Maka masuk akal jika
dijumpai pula prasasti yang berisi kutukan untuk anggota keluarga
kerajaan. Maksud dari kutukan ini adalah untuk menunjukkan sikap keras
dari raja yang berkuasa, sekaligus suatu sikap dari raja yang tidak
menghendaki kebebasan bertindak yang terlalu besar pada penguasa daerah
(Marwati & Nugroho, 1993:72). Sikap semacam ini sangat diperlukan untuk
menjaga eksistensi kekuasaan seorang raja sebagai penguasa tertinggi di
Sriwijaya. Sikap ini juga sekaligus dilakukan untuk meredam upaya kudeta
yang mungkin terjadi pada penguasa daerah, meskipun para penguasa
tersebut masih keluarga ataupun keturunan raja.

Kontrol kekuasaan juga dilakukan melalui kekuatan militer. Sebagimana
disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit, Dapunta Hyang Sri Jayanaga
memimpin pasukan sebanyak 20.000 tentara untuk menaklukkan daerah
/Ma-ta-dja /(?), yaitu sebuah daerah yang sampai sekarang masih menjadi
perdebatan para ahli, di antaranya Coedes dan N.J. Krom (Slamet,
2006:137).  Jumlah 20.000 tentara pada abad ke-7 tentu saja akan
bertambah berkali lipat ketika Sriwijaya sanggup meluaskan daerah
taklukkan sampai ke Asia Tenggara. Kontrol wilayah juga bisa dilakukan
dengan pengerahan pasukan apabila diketahui ada penguasa wilayah yang
tidak tunduk terhadap Raja Sriwijaya.

Di sisi lain, Sriwijaya juga mengadakan hubungan diplomasi dengan
Tiongkok, India, dan Cola. Seperti dikutip dalam buku /Sriwijaya
/(1996), hubungan diplomasi dengan jalan pengutusan antara Sriwijaya
dengan Tiongkok pertama kali terjadi pada 713 M dan 714 M. Pengiriman
utusan selanjutnya dilakukan pada 960 M, 962 M, 980 M, dan 983 M. Pada
992 M datang kabar dari Kanton bahwa Sriwijaya sedang diserang tentara
dari Jawa. Utusan yang telah terlanjur berada di Tiongkok kemudian
berangkat ke Campa akan tetapi keberangkatan ke Sriwijaya dari Campa
terpaksa dibatalkan karena peperangan kembali berkobar di Sriwijaya.
Atas terjadinya peperangan ini, utusan Sriwijaya akhirnya kembali ke
Tiongkok dan meminta kepada Kaisar Tiongkok untuk menyatakan bahwa
Sriwijaya berada dibawah perlindungan Tiongkok. Utusan kembali
dikirimkan oleh Sriwijaya pada 1003 (Slamet, 1996 :271-272).

Pada 1008 Raja Se-li-ma-la-pi (Sri Marawi, yaitu Marawijaya) mengirimkan
tiga utusan untuk mempersembahkan upeti kepada kaisar Tiongkok (Slamet,
1996:272). Beberapa uraian di atas menjelaskan bahwa telah terjadi
hubungan segitiga antara Sriwijaya-Tiongkok-India  (yang diwakili oleh
Marawijaya). Hubungan ini semata-mata dilakukan oleh Sriwijaya karena
usaha penggalangan kekuatan dalam menghadapi serangan dari luar,
misalnya saja ketika Sriwijaya mendapat serangan dari Jawa pada 992 M.

Wilayah Kerajaan Sriwijaya

Menurut Slamet Muljana, alasan perluasan wilayah bagi Sriwijaya adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Slamet, 1981:68). Maka
berdasarkan alasan ini, dimulailah politik perluasan wilayah oleh
Sriwijaya yang mula-mula menaklukkan Bangka kemudian Kerajaan Melayu di
Jambi untuk mengambil alih peran sebagai  penguasa lalu lintas
perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka. Penguasaan atas Bangka dan
Kerajaan Melayu terjadi antara tahun 672-682 M atau akhir abad ke-7
(Slamet, 1981:67).

Menurut Slamet Muljana (1981), pada 682 M Sriwijaya meluaskan kekuasaan
dengan menaklukkan daerah Minanga Tamwan, yaitu sebuah daerah di sebelah
barat laut Melayu. Penaklukkan terhadap Minanga Tamwan ini ditulis dalam
Prasasti Kedukan Bukit. Setelah menundukkan Minanga Tamwan, perluasan
kekuasaan selanjutnya mengarah ke utara menuju pantai barat Semenanjung
untuk menaklukkan Kedah yang dilakukan
kira-kira antara tahun 685-688 M. Setelah berhasil menaklukkan Kedah,
Sriwijaya kemudian berhasil menaklukkan Kerajaan Tulang Bawang yang
terletak di Muara Sungai Tulang Bawang, Lampung. Penaklukkan ini
tertulis dalam Prasasti Palas Pasemah. Pada 686 M kekuatan militer
Sriwijaya melakukan ekspedisi penaklukan ke Jawa. Ekspedisi ini sukses
menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Penaklukan terhadap
Tarumanegara tertulis dalam Prasasti Kota Kapur. Pada abad ke-8,
Sriwijaya menaklukkan daerah Ligor yang terletak di pantai timur
Semenanjung (Slamet, 1981:69, 74-75, dan 79).

 Dimulai dari abad ke-7 sampai 12, wilayah kekuasaan Sriwijaya telah
membentang dari Sumatera sampai ke Asia Tenggara. Menurut Jainal D.
Rasul (2003), disebutkan bahwa pada abad ke-12, wilayah imperium
Sriwijaya telah meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Melayu, Jawa
Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Kekuasaan yang sangat
besar ini menempatkan Sriwijaya sebagai sebuah imperium yang hebat
sampai abad ke-13 (Jainal D. Rasul, 2003:77).

Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Sriwijaya

Selama beberapa abad, Kerajaan Sriwijaya menempatkan diri sebagai pusat
perdagangan dengan mendirikan pelabuhan, menjadi pusat kekuasaan di
pantai Sumatera Timur, dan menguasai jalur pelayaran (Sartono, 1999:2).
Menurut M.A.P. Melink-Roelofz (1962:14) dalam Sartono (1999), masa
keemasan kekuasaan Sriwijaya di bidang kemaritiman, khususnya
perdagangan bahkan sampai meliputi sebagian dari Semenanjung Malaya,
Selat Malaka, Sumatera Utara, dan Selat Sunda. Komoditas perdagangan
kala itu adalah tekstil, kapur barus, mutiara, kayu berharga (misalnya
kayu gaharu), rempah-rempah, gading, kain katun, perak, emas, sutera,
gula, dan sebagainya (Sartono, 1999:2). Ramainya pelabuhan yang ada di
wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, bisa dilihat dari datangnya banyak
pedagang yang berasal dari mancanegara, seperti Persia, Arab, India, dan
Tiongkok.

Selain pusat perdagangan, Kerajaan Sriwijaya juga berfungsi sebagai
pusat pengembangan agama Buddha di nusantara. Beberapa pendeta Buddha
sengaja datang ke kerajaan ini untuk menggali ajaran Buddha. Mereka
antara lain, I-Tsing dan Sakyakirti dengan kitab suci karangannya,
/Hastadandasastra/ yang kemudian pada 717 M diterjemahkan ke dalam
bahasa Tionghoa oleh I-Tsing.

I-Tsing, seorang pendeta Buddha, sekitar tahun 672 M melakukan
perjalanan dari Kanton menuju India dan singgah di She-li-fo-she
(Sriwijaya) selama 6 bulan untuk belajar /sabdavidya /atau tata bahasa
Sanskerta. Dalam pengamatan I-Tsing yang kemudian ditulis dalam berita
Tiongkok, saat itu di Sriwijaya terdapat sekitar 1.000 orang pendeta
yang menguasai pengetahuan agama seperti halnya di Madhyadesa (India).
Ditambahkan pula oleh I-Tsing, bagi para pendeta Tiongkok yang akan
belajar kitab Buddha yang asli di Nalanda (India), sebaiknya belajar
terlebih dahulu di Sriwijaya selama 2 tahun, setelah itu baru pergi ke
India (Marwati & Nugroho, 1993:76 dan 81).

Untuk kedua kalinya I-Tsing datang ke Sriwijaya pada 689 M (Slamet,
2006:47). Selama 7 tahun, I-Tsing menetap di Sriwijaya dan menulis dua
karya, yaitu /T`ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan/ dan
/Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan/ (Slamet, 1981:67). Pada 1894, /T`ang
si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan/ diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh
Adouard Chavannes dengan judul /Voyages des pelerins bouddistes, les
religieux eminents qui allerent chercher la loi dans les pay d`occident,
Memoire compose a l`epoque de la grande dynastie T`ang par I-tsing/
(Slamet, 1981:67). Sedangkan karya I-Tsing yang berjudul
/Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan/, diterjemahkan oleh oleh J. Takakusu
pada 1896 dengan judul /A Record of the Buddisht religion as practised
in India and the Malay Archipelago/ (Slamet, 1981:67).      

(Tunggul Tauladan/02/10-2009).

*Referensi*

M.D. Mansoer /et.al/. 1970. /Sedjarah Minangkabau/. Jakarta: Bhratara.

Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. /Sejarah
Nasional Indonesia II/. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.

Sartono Kartodirdjo. 1999. /Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900
dari Emporium sampai Imperium/. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Slamet Muljana. 1981. /Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi/. Jakarta:
Idayu.

____________. 2006. /Sriwijaya/. Cetakan ke-II. Yogyakarta: LkiS.

Mundurnya Kerajaan Sriwijaya

Pada akhir abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh faktor politik dan ekonomi.
Faktor Politik Kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan kegiatan pelayaran perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang.
Dari daerah timur, Kerajaan Sriwijaya terdesak oleh perkembangan Kerajaan Singasari, yang pada waktu itu diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang berdta-cita menguasai seluruh wilayah Nusantara mulai mengirim ekspedisi ke arah barat yang dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi ini, Kerajaan Singasari mengadakan pendudukan terhadap Kerajaan Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga mengakibatkan kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak.
Faktor Ekonomi Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang, karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya telah jatuh ke kekuasaan raja-raja sekitarnya. Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah Genting Kra atau yang melakukan kegiatan ke daerah Melayu (sudah dikuasai Kerajaan Singasari) tidak lagi melewati wilayah kekuasaan Sriwijaya. Keadaan seperti ini tentu mengurangi sumber pendapatan kerajaan.
Dengan alasan faktor politik dan ekonomi, maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit tahun 1377 M.