Selasa

Sistem Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya

wilayah Sriwijaya ternyata membutuhkan
pengawasan yang ekstra karena luasnya kekuasaan kerajaan ini. Untuk
menjaga eksistensi kekuasaan, Raja Sriwijaya menerapkan beberapa
kebijakan, misalnya saja dalam beberapa prasasti dituliskan tentang
kutukan bagi siapa saja yang tidak taat pada raja, seperti dalam
Prasasti Telaga Batu Kota Kapur. Fungsi ancaman (kutukan) ini semata-mata untuk menjaga
eksistensi kekuasaan seorang raja terhadap daerah taklukannya (Marwati &
Nugroho, 1993:71). Selain kutukan, terdapat pula prasasti yang
menjanjikan hadiah berupa kebahagiaan terhadap siapa saja yang tunduk
terhadap Sriwijaya, seperti yang tertulis pada Prasasti Kota Kapur.

Selain berisi kutukan, Prasasti Telaga Batu juga memuat tentang
penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya, seperti misalnya /yuvaraja /(putra
mahkota), /pratiyuvaraja /(putra raja kedua), /rajakumara /(putra raja
ketiga), /rajaputra /(putra raja keempat), /bhupati /(bupati), /senapati
/(pemimpin pasukan), /nayaka, pratyaya, haji pratyaya /(orang
kepercayaan raja?), /dandanayaka /(hakim), /tuha an vatak vuruh
/(pengawas kelompok pekerja), /addhyaksi nijavarna, vasikarana /(pembuat
pisau), /kayastha/ (juru tulis), /sthapaka /(pemahat), /puhavam
/(nakhoda kapal), /vaniyaga, pratisara, marsi haji, hulunhaji
/(saudagar, pemimpin, tukang cuci, budak raja), /datu, /dan /kadatuan/
(Marwati & Nugroho, 1993:57).

Secara struktural, Raja Sriwijaya memerintah secara langsung terhadap
seluruh wilayah kekuasaan (taklukan). Di beberapa daerah taklukan
ditempatkan pula wakil raja sebagai penguasa daerah. Wakil raja ini
biasanya masih keturunan dari raja yang memimpin. Maka masuk akal jika
dijumpai pula prasasti yang berisi kutukan untuk anggota keluarga
kerajaan. Maksud dari kutukan ini adalah untuk menunjukkan sikap keras
dari raja yang berkuasa, sekaligus suatu sikap dari raja yang tidak
menghendaki kebebasan bertindak yang terlalu besar pada penguasa daerah
(Marwati & Nugroho, 1993:72). Sikap semacam ini sangat diperlukan untuk
menjaga eksistensi kekuasaan seorang raja sebagai penguasa tertinggi di
Sriwijaya. Sikap ini juga sekaligus dilakukan untuk meredam upaya kudeta
yang mungkin terjadi pada penguasa daerah, meskipun para penguasa
tersebut masih keluarga ataupun keturunan raja.

Kontrol kekuasaan juga dilakukan melalui kekuatan militer. Sebagimana
disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit, Dapunta Hyang Sri Jayanaga
memimpin pasukan sebanyak 20.000 tentara untuk menaklukkan daerah
/Ma-ta-dja /(?), yaitu sebuah daerah yang sampai sekarang masih menjadi
perdebatan para ahli, di antaranya Coedes dan N.J. Krom (Slamet,
2006:137).  Jumlah 20.000 tentara pada abad ke-7 tentu saja akan
bertambah berkali lipat ketika Sriwijaya sanggup meluaskan daerah
taklukkan sampai ke Asia Tenggara. Kontrol wilayah juga bisa dilakukan
dengan pengerahan pasukan apabila diketahui ada penguasa wilayah yang
tidak tunduk terhadap Raja Sriwijaya.

Di sisi lain, Sriwijaya juga mengadakan hubungan diplomasi dengan
Tiongkok, India, dan Cola. Seperti dikutip dalam buku /Sriwijaya
/(1996), hubungan diplomasi dengan jalan pengutusan antara Sriwijaya
dengan Tiongkok pertama kali terjadi pada 713 M dan 714 M. Pengiriman
utusan selanjutnya dilakukan pada 960 M, 962 M, 980 M, dan 983 M. Pada
992 M datang kabar dari Kanton bahwa Sriwijaya sedang diserang tentara
dari Jawa. Utusan yang telah terlanjur berada di Tiongkok kemudian
berangkat ke Campa akan tetapi keberangkatan ke Sriwijaya dari Campa
terpaksa dibatalkan karena peperangan kembali berkobar di Sriwijaya.
Atas terjadinya peperangan ini, utusan Sriwijaya akhirnya kembali ke
Tiongkok dan meminta kepada Kaisar Tiongkok untuk menyatakan bahwa
Sriwijaya berada dibawah perlindungan Tiongkok. Utusan kembali
dikirimkan oleh Sriwijaya pada 1003 (Slamet, 1996 :271-272).

Pada 1008 Raja Se-li-ma-la-pi (Sri Marawi, yaitu Marawijaya) mengirimkan
tiga utusan untuk mempersembahkan upeti kepada kaisar Tiongkok (Slamet,
1996:272). Beberapa uraian di atas menjelaskan bahwa telah terjadi
hubungan segitiga antara Sriwijaya-Tiongkok-India  (yang diwakili oleh
Marawijaya). Hubungan ini semata-mata dilakukan oleh Sriwijaya karena
usaha penggalangan kekuatan dalam menghadapi serangan dari luar,
misalnya saja ketika Sriwijaya mendapat serangan dari Jawa pada 992 M.

7 komentar: