Selasa

Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Sriwijaya

Selama beberapa abad, Kerajaan Sriwijaya menempatkan diri sebagai pusat
perdagangan dengan mendirikan pelabuhan, menjadi pusat kekuasaan di
pantai Sumatera Timur, dan menguasai jalur pelayaran (Sartono, 1999:2).
Menurut M.A.P. Melink-Roelofz (1962:14) dalam Sartono (1999), masa
keemasan kekuasaan Sriwijaya di bidang kemaritiman, khususnya
perdagangan bahkan sampai meliputi sebagian dari Semenanjung Malaya,
Selat Malaka, Sumatera Utara, dan Selat Sunda. Komoditas perdagangan
kala itu adalah tekstil, kapur barus, mutiara, kayu berharga (misalnya
kayu gaharu), rempah-rempah, gading, kain katun, perak, emas, sutera,
gula, dan sebagainya (Sartono, 1999:2). Ramainya pelabuhan yang ada di
wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, bisa dilihat dari datangnya banyak
pedagang yang berasal dari mancanegara, seperti Persia, Arab, India, dan
Tiongkok.

Selain pusat perdagangan, Kerajaan Sriwijaya juga berfungsi sebagai
pusat pengembangan agama Buddha di nusantara. Beberapa pendeta Buddha
sengaja datang ke kerajaan ini untuk menggali ajaran Buddha. Mereka
antara lain, I-Tsing dan Sakyakirti dengan kitab suci karangannya,
/Hastadandasastra/ yang kemudian pada 717 M diterjemahkan ke dalam
bahasa Tionghoa oleh I-Tsing.

I-Tsing, seorang pendeta Buddha, sekitar tahun 672 M melakukan
perjalanan dari Kanton menuju India dan singgah di She-li-fo-she
(Sriwijaya) selama 6 bulan untuk belajar /sabdavidya /atau tata bahasa
Sanskerta. Dalam pengamatan I-Tsing yang kemudian ditulis dalam berita
Tiongkok, saat itu di Sriwijaya terdapat sekitar 1.000 orang pendeta
yang menguasai pengetahuan agama seperti halnya di Madhyadesa (India).
Ditambahkan pula oleh I-Tsing, bagi para pendeta Tiongkok yang akan
belajar kitab Buddha yang asli di Nalanda (India), sebaiknya belajar
terlebih dahulu di Sriwijaya selama 2 tahun, setelah itu baru pergi ke
India (Marwati & Nugroho, 1993:76 dan 81).

Untuk kedua kalinya I-Tsing datang ke Sriwijaya pada 689 M (Slamet,
2006:47). Selama 7 tahun, I-Tsing menetap di Sriwijaya dan menulis dua
karya, yaitu /T`ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan/ dan
/Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan/ (Slamet, 1981:67). Pada 1894, /T`ang
si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan/ diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh
Adouard Chavannes dengan judul /Voyages des pelerins bouddistes, les
religieux eminents qui allerent chercher la loi dans les pay d`occident,
Memoire compose a l`epoque de la grande dynastie T`ang par I-tsing/
(Slamet, 1981:67). Sedangkan karya I-Tsing yang berjudul
/Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan/, diterjemahkan oleh oleh J. Takakusu
pada 1896 dengan judul /A Record of the Buddisht religion as practised
in India and the Malay Archipelago/ (Slamet, 1981:67).      

(Tunggul Tauladan/02/10-2009).

*Referensi*

M.D. Mansoer /et.al/. 1970. /Sedjarah Minangkabau/. Jakarta: Bhratara.

Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. /Sejarah
Nasional Indonesia II/. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.

Sartono Kartodirdjo. 1999. /Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900
dari Emporium sampai Imperium/. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Slamet Muljana. 1981. /Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi/. Jakarta:
Idayu.

____________. 2006. /Sriwijaya/. Cetakan ke-II. Yogyakarta: LkiS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar